Pemanfaatan Kulit Teknologi Pengolahan Hasil Ternak


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia sebagai negara agraris tidak hanya terfokus pada masalah pertanian, tapi mulai mengembangkan bidang bisnis pertanian dalam arti luas seperti peternakan. Selain dapat melaksanakan tujuan pertanian yang terpadu dan berkelanjutan, yakni melaksanakan pertanian yang ramah lingkungan, misalnya dengan jalan pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk kandang yang berfungsi menyuburkan tanah. Pemanfaatan kulit ternak kini sedang marak dilakukan, diantaranya dapat digunakan sebagai bahan baku dalam industri tekstil.
Dalam industri tekstil ternak dimanfaatkan kulitnya untuk disamak diantaranya dijadikan sebagai bahan baku pembuatan sepatu,tas dan jaket. Tentunya bahan kulit yang berasal dari hewan ternak tentunya tidak bisa begitu saja dimanfaatkan, akan tetapi harus melalui proses pengolahan terlebih dahulu, proses ini yang dinamakan penyamakan kulit. Kulit ternak selain sebagai bahan baku yang penting dalam industri, juga telah dimanfaatkan oleh penduduk beberapa daerah sebagai bahan baku kerupuk.
Proses pertama pada pengolahan kulit yaitu proses unhairing atau penghilangan bulu pada kulit sapi atau kerbau. Proses ini bertujuan untuk memisahkan dua struktur protein yakni keratin dan kolagen. Saat unhairing, rambut bersama epidermis, protein nonkolagen dan substansi perekat lainnya dilepaskan dari kulit.
Pada proses konvensional, para pengrajin kulit biasanya menghilangkan bulu sapi dengan cara dipanggang dalam bara atau tungku pembakaran. Akan tetapi, saat ini proses unhairing dilakukan dengan menambahkan Ca(OH)2 dan Na2S dalam jumlah banyak. Umumnya untuk membuang protein keratin rambut pada proses unhairing digunakan natrium sulfida (Na2S) dengan pH sekitar 9 - 10 dan suhu 37°C. Akan sangat berbahaya apabila masyarakat mengkonsumsi kerupuk yang berbahan dasar limbah kulit hasil penyamakan, karena akan membahayakan kesehatan produsen konsumen dan akan mencemari lingkungan sekitarmya, karena proses unhairing yang menggunakan bahan kimia Na2S memiliki Sulfida yang akan menjadi masalah bagi para pekerja, karena akan terus menerus terhisap sebagai gas hidrogen sulfida, kondisi basa keras pun merupakan bahaya kesehatan bagi pekerja.
Pengolahan kulit dengan menggunakan enzimatik dipandang sebagai cara alternatif yang dapat diandalkan untuk menghindari masalah dalam produksi kerupuk kulit, karena selain pemanfaatan protease dapat digunakan dalam bidang penyamakan juga banyak dirasakan dan terus dikembangkan dalam bidang pangan. Hal inilah yang melatarbelakangi disusunnya makalah dengan tema Perkembangan Teknologi Industri Pengolahan Kulit.

Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui sejauh mana perkembangan teknologi pada industri pengolahan kulit.
Kegunaan penyusunan makalah ini adalah sebagai sumber informasi bagi mahasiswa, pengusaha industri pengolahan kulit, dan masyarakat secara umum mengenai perkembangan teknologi pada industri pengolahan kulit.
PEMBAHASAN
Pengawetan pada Kulit Mentah
Pengawetan kulit secara umum didefinisikan sebagai suatu cara atau proses untuk mencegah terjadinya lisis atau degradasi komponen-komponen dalam jaringan kulit.  Prinsip pengawetan kulit adalah menciptakan kondisi yang tidak cocok bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme perusak kulit.  Hal tersebut dilakukan dengan menurunkan kadar air sampai tingkat serendah mungkin dengan batas tertentu sehingga mikroorganisme tidak mampu untuk tumbuh (± 5-10%). Pengawetan kulit memiliki beberapa tujuan antara lain :
a)   Mempertahankan struktur dan keadaan kulit dari pengaruh lingkungan untuk sementara waktu  sebelum dilakukan proses pengolahan/penyelesaian.
b)   Untuk tujuan penyimpanan dalam waktu yang relatif lebih lama Agar kulit dapat terkumpul sehingga dapat dikelompokkan menurut besar dan kualitasnya serta mengantisipasi terjadinya over produksi karena stok kulit yang terlalu banyak.
Secara umum proses pengawetan kulit mentah yang dikenal di Indonesia terdiri atas 4 macam, yakni :
a.     Pengawetan dengan cara pengeringan + zat kimia
b.    Pengawetan dengan cara kombinasi penggaraman dan pengeringan
c.     Pengawetan dengan cara garam basah
d.    Pengawetan dengan cara pengasaman (pickling)


Pengawetan dengan Cara Pengeringan + Zat Kimia
Kulit segar yang baru dilepas dari ternak selanjutnya dilakukan pengawetan dengan maksud untuk mengurangi kadar air yang terdapat dalam kulit hingga mencapai batas minimum kadar air yang diperlukan  untuk persyaratan hidup bakteri perusak.  Adapun urutan pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
1)    Pencucian dan pembuangan daging
2)    Pengetusan (pentirisan)
3)    Pemberian zat kimia
4)    Pementangan
5)    Pengeringan
6)    Pelipatan
Pengawetan dengan Cara Kombinasi Penggaraman dan Pengeringan
Kulit segar setelah bersih dari lemak, darah, sisa-sisa daging maupun kotoran yang melekat (seperti cara -1) kemudian direndam dalam dalam cairan garam (NaCl) jenuh dengan kadar kepekatan garam (salinitas) 20-24oBe selama 1-2 hari.  Tingkat kepekatan garam tidak boleh berada dibawah 20oBe.  Kadar salinitas tersebut diukur dengan alat yang disebut Baume meter.  Bila tingkat salinitas mengalami penurunan maka sebaiknya ditambah dengan garam. Dalam proses ini memiliki beberapa keuntungan maupun kerugian antara lain :
Keuntungan:
·                Selama waktu pengeringan kulit tidak lekas menjadi busuk sekalipun pengeringannya memerlukan waktu yang relatif lama misalnya pada saat musim penghujan.
·                Kualitas kulit menjadi lebih baik dari pada yang dikeringkan saja (cara-1) oleh karena  serat-serat  kulit tidak melekat satu sama lain.
·                Kulit sangat baik untuk disamak terutama dalam proses perendaman (soaking) yang tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama lagi.
Kerugian:
·                Biaya pengawetan yang dibutuhkan menjadi lebih banyak dibanding cara-1 karena jumlah penggunaan garamnya bertambah pula
Pengawetan dengan Cara Garam Basah
Kulit yang telah bersih dimasukkan ke dalam garam jenuh selama 24 jam (seperti pada cara-2).  Setelah perendaman, kulit tidak lagi dikeringkan seperti (cara-2), tetapi kulit diletakkan pada lantai miring yang diatasnya telah ditaburi dengan garam.  Kulit yang berada pada posisi paling bawah diletakkan dengan bagian bulu menghadap ke lantai dan bagian berdaging menghadap ke atas. Beberapa keuntungan dan kerugian cara ini antara lain :
Keuntungan  :
·                Pengawetan tidak tergantung dengan sinar matahari
·                Sedikit sekali terjadi kerusakan kulit
·                Proses perendaman (soaking) dalam proses penyamakan kulit membutuhkan waktu yang singkat
·                Pelaksanaan cepat dan tidak membutuhkan ruangan yang luas
Kerugian :
·         Untuk daerah tropik seperti di Indonesia pengawetan dengan menggunakan garam basah masih disangsikan keberhasilannya mengingat temperatur ruangan yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri khususnya bila penyimpanan dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama.  Bakteri yang seringkali ditemukan pada kulit garaman adalah jenis bakteri halapofilik yang diketahui relatif tahan terhadap suasana garam.
·         Biaya pengawetan sedikit lebih mahal karena pemakaian garam yang relatif lebih banyak serta membutuhkan penyimpanan dengan temperatur yang rendah.
Pengawetan dengan Cara Pengasaman (Pickling)
Teknik pengawetan ini terutama dipakai untuk mengawetkan kulit domba (terutama di New Zaeland, Australia, Amerika dan pabrik-pabrik kulit yang berskala besar lainnya).  Untuk keperluan ekspor kulit dipickle selama 2 bulan atau lebih.  Pengawetan kulit dengan cara dipickle dikerjakan untuk kulit-kulit yang telah dikeluarkan bulunya melalui proses pengapuran (liming), buang kapur (deliming) dan telah didegradasi sebagian protein penyusunnya yang disebut bating (beitzing).
Dari keempat jenis pengawetan kulit tersebut, tentunya masing-masing jenis pengawetan memiliki keuntungan dan kerugian, namun pada prinsipnya proses pengawetan yang dilakukan tentunya mengarah kepada suatu upaya bagaimana kulit mentah tersebut memiliki umur simpan yang maksimal hingga memasuki tahap pengolahan.  Selama proses penyimpanan tersebut struktur penyusun kulit sangat rentan sekali oleh pengaruh mikroorganisme.  Selain itu tentunya perubahan-perubahan yang terjadi pada struktur penyusun diupayakan dapat diminimalisir.
Tingginya kadar air dan protein pada kulit menyebabkan kulit merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Dengan fenomena ini menunjukkan bahwa, produk kulit mentah merupakan produk hasil sampingan pemotongan ternak yang memerlukan penanganan khusus setelah lepas dari tubuh ternak
Selain zat-zat kimia tersebut,  di dalam kulit yang masih segar terdapat pula beberapa jenis enzim yang dihasilkan oleh sel-sel di dalam kulit itu sendiri  yakni enzim cathepsin, collagenase, dan dopa oxidase.  Enzim  collagenase disintesis oleh sel fibroblast.  Selama hewan masih hidup enzim tersebut dalam bentuk pro-collagenase yang tidak aktif, namun setelah hewan dipotong pro-collagenase tersebut akan menjadi aktif sebagai collagenase yang dapat mencerna serabut kolagen.  Selama kulit masih segar setelah lepas dari tubuh dan sebelum mengalami pengawetan dalam kondisi lingkungan yang sesuai,  enzim  cathepsin bersama-sama dengan enzim collagenase mencerna zat-zat dalam kulit.
Teknologi  Penyamakan Kulit
Proses penyamakan kulit adalah proses pengolahan kulit binatang melalui beberapa tahapan proses sehingga kulit binatang yang masih utuh dirubah menjadi
kulit yang siap digunakan untuk pembuatan produk-produk hilir seperti sepatu, dompet, ikat pinggang, jok kursi dan sebagainya. Kulit binatang (domba, sapi, kerbau) sebelum disamak, pada umumnya digarami dan dijemur di bawah sinar matahari. Setelah kering, kulit tersebut selanjutnya dilakukan proses penyamakan secara bertahap dengan menggunakan bahan kimia. Proses penyamakan ini mencakup: perendaman (soaking), pengapuran (liming), pencabutan / penghilangan bulu (dehairing), penghilangan kapur (deliming), buang protein (bating), penghilangan lemak (degreasing) dan pengasaman (pickling), dan penyerutan (shaving).
Selama proses penyamakan, senyawa non-kolagen harus dihilangkan, dan tingkat penghilangan senyawa non-kolagen ini menentukan kualitas kulit. Untuk itu, penambahan enzim sangat diperlukan untuk mempermudah proses penyamakan dan disamping itu penambahan enzim dapat pengurangan bahan kimia yang digunakan, sehingga berdampak pula terhadap pengurangan limbah kimia yang dihasilkan. Penerapan penyamakan dengan menggunakan enzim sebenarnya sudah pula diterapkan, yaitu dengan menggunakan bahan-bahan tambahan kulit tumbuh - tumbuhan bakau, namun hal ini berdampak pula terhadap kelestarian hutan bakau dan prosesnya kurang dapat dikendalikan.
Sebelum proses penyamakan, kulit dapat dilakukan pre-treatment lebih dahulu, yaitu dengan merendam dalam air. Pada proses perendaman ini kadang -kadang ditambahkan gula dengan maksud mempercepat pertumbuhan bakteri putrefaksi (pembusuk protein) guna mempermudah proses pencabutan rambut / bulu. Waktui yang dibutuhkan untu proses perendaman tergantung dari jenis kulit dan keadaan kulit sebelumnya. Proses ini dapat berlangsung sampai 24 - 36 jam.
Penyamakan kulit merupakan suatu proses untuk mengubah kulit mentah (hide/skin) yang bersifat labil (mudah rusak oleh pengaruh fisik, kimia dan biologis) menjadi kulit yang stabil terhadap pengaruh tersebut yang biasa disebut kulit tersamak (leather). Ada 4 jenis penyamakan yang dikenal yaitu:

a.     Penyamakan mineral
Jenis bahan penyamak yang sering digunakan dalam penyamakan ini antara lain yang berasal dari golongan aluminium seperti tawas putih (K2SO4 Al2(SO4)3 24 H2O), golongan chrome seperti Cr2O3 (produk komersial dengan merek Chromosal-B)  dan Zirkonium.  Produk kulit jadi (leather) yang biasa dihasilkan  melalui penyamakan ini antara lain : kulit untuk bahan jaket, tas kantor, sepatu dan lap (chamois).
 b.     Penyamakan nabati
Jenis bahan penyamak yang digunakan adalah bahan-bahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan  seperti akar, batang dan daun.  Prinsipnya bahwa semua tumbuh-tumbuhan yang mengandung tannin  dapat digunakan.  Contoh tumbuhan yang sering digunakan antara lain : mahoni, pisang, teh, akasia, bakau.  Tumbuhan yang mengandung tannin dicirikan oleh rasa yang sepat dan reaksi dengan besi seperti pisau menghasilkan warna ungu kehitaman.  Produk kulit jadi yang dihasilkan adalah sepatu sol (sepatu kerja/sepatu militer/polisi)
 c.     Penyamakan sintetis
Penyamakan sintetis menggunakan bahan-bahan dari golongan fenol yang telah dibesarkan molekulnya melalui proses sulfonasi dan kondensasi.   Produk komersial dijual dengan merek Basyntan, Irgantan dan Tanigan.  Tujuan yang diharapkan dari penyamakan ini adalah memperoleh kulit jadi dengan menampilkan kesan aslinya.  Seperti kulit reptil (ular, buaya biawak) maupun pada kulit kaki ayam. Melalui teknik penyamakan ini relief (rajah) khas yang dimiliki masing-masing kulit tetap dipertahankan dan akan tetap tampak sebagai suatu seni (art) tersendiri.
 d.     Penyamakan minyak
Jenis bahan penyamak yang digunakan adalah berasal dari minyak ikan salah satu contohnya adalah minyak ikan hiu.  Dalam perdagangan biasa dikenal dengan nama minyak ikan kasar.  Minyak ikan yang digunakan memiliki ikatan C rangkap atau bilangan yodium berkisar 80-120.  Produk kulit jadi yang dihasilkan  misalnya kulit bulu (zemleer).

Pemanfaatan Enzim Mikroorganisme untuk Penyamakan Kulit
Pemanfaatan enzim untuk penyamakan kulit dapat dilakukan sejak awal proses penyamakan, yaitu khususnya pada:
Perendaman (soaking process), dengan menambahkan enzim protease basa atau campuran protease dan enzim amilase.
·                Pencabutan bulu (dehairing process), dengan enzim protease basa.
·                Penghilangan lemak (degreasing process), dengan lipase basa.
·                Penghilangan protein(batting process), dengan protease basa.
Teknologi produksi enzim protease untuk penyamakan kulit dengan menggunakan bakteri Bacillus megaterium baik pada skala laboratorium (fermentor 20 liter) maupun pada skala pilot (2.000 liter). Selanjutnya enzim protease ini yang dipasarkan dengan nama “Exolite” diharapkan dapat diterima oleh masyarakat, khususnya oleh industri penyamak kulit. Produk exolite ini telah diuji-cobakan untuk penyamakan kulit kambing, domba dan sapi Industri Barang Karet, Kulit dan Plastik dan di industri penyamak kulit di Jogyakarta, Garut dan Magetan.

Hasil-hasil Olahan Kulit untuk Pangan dan Non Pangan
a.     Hasil olahan kulit untuk pangan
Hasil olahan yang berasal dari kulit yang dapat dikonsumsi manusia dapat berupa kerupuk kulit dan gelatin. Sampai saat ini produk kerupuk kulit sudah banyak dikonsumsi oleh masyarakat baik yang berasal dari ternak besar maupun yang berasal dari unggas (ayam).  Misalnya saja kerupuk kulit cakar ayam maupun kerupuk kulit tubuh ayam.  Di pulau Jawa sendiri, Jenis kerupuk ini telah  lama berkembang, begitu pula di Sulawesi Selatan jenis kerupuk ini sedikit demi sedikit telah mulai dikenal oleh masyarakat. Di Sumatra Barat sendiri telah diproduksi secara massal dengan nama “kerupuk jangat” yang sebagian besar diproduksi dengan bahan dasar kulit kerbau begitu pula di daerah Mataram kegiatan produksi kerupuk dari kulit telah berkembang dengan pesat. Pemanfaatan lain dari kulit dalam dunia pangan adalah dalam bentuk gelatin.  Gelatin adalah produk hasil denaturasi dari kolagen. Kulit yang secara kimiawi komposisi proteinnya terdiri atas 80-90% merupakan protein kolagen.  Protein kolagen ini secara ilmiah dapat “ditangkap” untuk dikonversi menjadi gelatin.  Gelatin secara kimiawi diperoleh melalui rangkaian proses hidrolisis kolagen yang  terkandung dalam kulit. 
                                                    
Beberapa negara maju maupun negara berkembang menggunakan banyak produk gelatin dalam kehidupan sehari-hari. Gelatin banyak digunakan sebagai bahan kosmetik (salep, cream rambut), makanan (pembuatan es krim, permen karet, pengental, mayonnaise,  maupun penjernih anggur buah), bidang teknik (rol cetak, sablon dalam screen printing, perekat pentil korek api dan alas hektograf), bidang fotografi (medium pengulas bahan film serta kertas potret),  bidang farmasi dalam bentuk kapsul dan alas makanan dalam bidang mikrobiologi.
b.     Hasil olahan kulit untuk non pangan
Hasil olahan kulit dalam bentuk non pangan lebih banyak dalam bentuk kulit tersamak (leather) melalui proses penyamakan.  Beberapa jenis produk leather yang kita kenal adalah sebagai berikut  :
·         Kulit sol. Kulit sol biasanya berasal dari kulit tebal yang mempunyai struktur serat yang kuat dan padat misalnya kulit sapi dan kerbau.  Jenis kulit ini kaku dan sulit dibengkokkan.  Penggunaannya sebagai bahan sol sepatu untuk militer/polisi serta pekerja pabrik. Kulit sol diolah dengan melalui penyamakan nabati.
·         Kulit vache. Kata vache berasal dari bahasa Perancis “la vache” yang berarti sapi.  Kulit ini lebih lemas dibanding sol dan banyak digunakan untuk sol dalam dan kap pembuatan sepatu cara modern.  Kulitnya berasal dari sapi.
·         Kulit raam. Kulit raam adalah jenis kulit vache digunakan untuk menyambung kulit atasan dengan kulit bawahan dan diperdagangkan sebagai lajuran dengan lebar 12-18 mm dan tebal 1,8-2,2 mm.  Warna biasanya disesuaikan dengan warna kulit sapi.
·         Kulit box. Kata box merupakan contoh dari kulit atasan yang berasal dari kulit sapi melalui penyamakan chrome.  Sifat kulit ini lemas, struktur kuat serta nerf tidak mudah pecah dan lepas.  Banyak digunakan sebagai bahan sepatu kantor atau kerja.
·         Fahl. Kulit fahl merupakan bahan untuk kulit atasan berasal dari kulit sapi yang disamak nabati dan diberi gemuk tidak berwarna atau berwarna kehitaman.  Sifatnya tahan air, lemas dan kekuatan tariknya tinggi.  Banyak digunakan sebagai bahan sepatu gunung, militer maupun sepatu lapangan.
·         Kulit tahan air. Kulit ini merupakan kulit atasan melalui proses penyamakan chrome, kombinasi dan nabati.  Kulit diberi gemuk agar tahan terhadap air dan banyak digunakan sebagai bahan pembuatan sepatu berat, laras, sport dan ski.  Kadar gemuknya mencapai 15-21%.  Jenis kulit ini berasal dari kulit  sapi.
·         Kulit nubuk dan velour. Kulit ini berasal dari kulit sapi yang disamak chrome dan pada bagian atas (nerf) digosok sedikit sehingga bila diraba akan terasa seperti beludru.
·         Kulit chevrau. Kulit ini dibuat dari kulit kambing yang disamak chrome yang digunakan sebagai bahan kulit atasan.  Kulit ini biasa juga disebut kulit glase.
·         Kulit chevrette. Kulit ini berasal dari domba yang disamak  chrome.  Kekuatannya sedikit berada dibawah kulit chevrau sehingga kebanyakan dibuat untuk jenis sepatu rumah.
·         Kulit blank. Kulit ini kebanyakan diolah dengan samak nabati sifatnya elastis  tidak mudah dibengkokkan dan kuat.  Digunakan sebagai bahan untuk sadel, tas, ransel.  Bahannya berasal dari kulit sapi.
·         Kulit vachet. Kulit ini berbahan mentah kulit sapi dan digunakan sebagai bantal pada kursi dan peralatan-peralatan rumah tangga lainnya.
·         Kulit mebel. Kulit ini mirip dengan kulit blank namun jumlah gemuk yang diberikan lebih banyak, elastis dan kuat.
·         Kulit halus. Yang tergolong kulit ini adalah kulit sampul buku dan kulit tas.  Bahan mentahnya berasal dari kulit sapi, kambing dan domba yang disamak nabati.
·         Kulit reptil dan kulit ikan. Kulit reptil antara lain kulit ular, biawak dan buaya.  Produk ini dipergunakan  untuk produksi sepatu, tas wanita, dompet maupun ikat pinggang.  Proses penyamakannya melalui penyamakan nabati dan chrome. Untuk kulit ikan diperoleh dari kulit anjing laut, ikan hiu dan pari.
·         Kulit ban mesin. Jenis kulit ini berasal dari kulit sapi yang diproses dengan penyamakan nabati dan chrome.  Sifatnya harus kuat, lemas dan sedikit mengalami kemuluran.
·         Kulit manchet. Jenis kulit ini banyak dipergunakan untuk peralatan pompa, pipa air, pentil.  Kulit ini berasal dari kulit sapi dan kambing.
·         Kulit tekstil. Jenis kulit ini digunakan untuk keperluan alat-alat teknik  antara lain bagian-bagian dari alat tenun misalnya  pecker, roda gigi (dapat berjalan tanpa berbunyi).  Bahannya berasal dari kulit sapi dan kerbau.
·            Kulit pelindung kerja. Jenis kulit ini banyak dipakai sebagai bahan untuk pembuatan barang-barang yang berfungsi dalam perlindungan bagi tubuh seperti sarung tangan dan peci. Bahan mentahnya berasal dari kulit sapi dengan konsistensi lemas.
·            Kulit sarung tangan. Jenis kulit harus tipis, lemas dan lentur.  Biasanya putih atau berwarna-warni.  Bahan mentahnya dapat berasal dari kulit kambing, domba rusa dan babi.  Prosesnya melalui penyamakan chrome, kombinasi chrome dengan minyak.
·         Kulit pakaian. Yang termasuk dalam produk ini adalah barang kulit berupa mantel ataupun jaket. Bahan mentah berasal dari kulit domba, kambing, sapi dan kuda.
·         Kulit pengisap keringat. Kulit ini biasanya dipasang pada topi.  Prosesnya dengan penyamakan nabati.  Bahan mentahnya berasal dari kulit domba, kambing dan babi.











PENUTUP
Kesimpulan
Industri pengolahan kulit ternak di Indonesia mengalami perkembangan dari sisi metode dan bahan yang digunakan. Pengolahan kulit menjadi produk pangan maupun non pangan dilakukan dengan berbagai proses baik secara fisik, kimia, maupun enzimatik. Semua perkembangan dan perubahan tersebut dilakukan sesuai dengan perkembangan pengetahuan yang dimiliki oleh pelaku industri pengolahan kulit.

Saran
Penggunaan enzim khususnya pada pengolahan kulit menjadi produk pangan hendaknya lebih terapkan dibandingkan penggunaan zat kimia agar tidak mengganggu kesehatan konsumen maupun pekerja.

















DAFTAR PUSTAKA
Adityani, F. N. 2012. Produksi dan Pemanfaatan Protease dari Bacillus subtilis dan Bacillus pumilus untuk Unhairing Kulit Sapi sebagai Bahan Baku Kerupuk Rambak. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.

Banerjee R. dan B.C. Bhattacharyya. 2001. Enzyme technology for improving tannery management in rural area. Journal of Indian Leather Technologist Association. 12 (3) : 182 – 185.

Darmawan, B. 2013. Pengembangan Proses Pengolahan Kulit Ramah Lingkungan, Produksi Bersih, Green Productivity, Green Supply Chain, dan Penanganan Limbah Industri Kulit Samak. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Pawiroharsono, S. 2003. Microbial Enzyme and Their Application in Industry. Prosiding Seminar Industri Enzim dan Bioteknologi.

Pawiroharsono, S. 2008. Penerapan enzim untuk penyamakan kulit ramah lingkungan. Jurnal Teknologi Lingkungan. 9 (1) : 51 – 58.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMANFAATAN TANAMAN DAUN MURBEI SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA

Konsumsi Protein Kasar Dan Serat Kasar Kambing Yang Mendapat Pelet Pakan Komplit Berbasis Tongkol Jagung Dengan Level Tepung Rese Berbeda

Manfaat perjalanan adventure